Header Ads

Anak Begawan Itu Kembali

Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya kembali ke sarangnya juga. Pepatah yang pernah kita pelajari di sekolah dahulu itu sekarang mengena sekali dengan langkah bisnis Hashim Djojohadikusumo, pemilik Grup Tirtamas, yang pernah memiliki Bank Niaga dan Semen Cibinong. Sejak perusahaannya terhantam krisis ekonomi tahun 1998 lalu, Hashim lebih banyak berbisnis di luar negeri. Kini anak begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini berniat kembali berbisnis di Indonesia.

Sebenarnya, niat Hashim untuk comeback telah menjadi bahan pergunjingan sejak beberapa tahun belakangan. Awal tahun ini langkah kaki Hashim itu kembali terdengar. Sumber KONTAN yang dekat dengan Hashim berucap, “Ia ingin kembali berbisnis di sini.” Hal ini lantaran Hashim telah menggenggam uang miliaran dolar hasil penjualan perusahaan minyaknya di Kazakhstan, Nations Energy.

Hashim menjual Nations Energy pada Oktober 2006 lalu kepada Citic Group, sebuah perusahaan energi asal China. Sebenarnya, proses penjualan ini telah dimulai sejak Juni 2006. Tercatat perusahaan asal India dan Rusia ikut menawar Nations Energy dari Hashim. Pada akhirnya, Hashim melego perusahaannya kepada Citic Group dengan nilai US$ 1,91 miliar atau setara Rp 17,2 triliun lebih.

Di Nations Energy, Hashim duduk sebagai komisaris utama sekaligus presiden direktur. Perusahaan yang bermarkas di Kanada ini sebenarnya terbilang kinclong dan menjadi tambang uang bagi Hashim setelah lunglai terhempas krisis 1998. Lihat saja, tahun 2005, Nation Energy membukukan laba sebesar US$ 179 juta. Aset perusahaan itu sendiri sebesar US$ 2,3 miliar.

Dengan perusahaan yang begitu bagus, wajar jika banyak pihak terkaget-kaget dengan aksi jual ini. Namun, seolah membiarkan orang bertanya-tanya, Hashim menutup rapat hal-ihwal penjualan tersebut. Sang direkturnya, David Wilson, pun berbuat serupa. “Kebijakan perusahaan untuk tidak membuat komentar apa pun,” kata Direktur Nations Energy tersebut kepada Canadian Business Online.

Misi menyelamatkan Kiani

Ada kabar, setelah menjual Nations, Hashim ingin berbisnis kembali di Indonesia dengan menyelamatkan Kiani Kertas. Kita tahu, perusahaan milik sang kakak, Prabowo Subianto, ini sedang terlilit utang senilai Rp 1,9 triliun ke Bank Mandiri. Selain itu, ada banyak proyek yang ingin dia rengkuh kembali di Indonesia.

Benar saja, 21 Januari lalu, tiba-tiba Bank Mandiri mengumumkan status utang Kiani tidak lagi merah atawa macet, karena telah membayar US$ 37 juta. Pembayaran utang itu dilakukan pada 10 Januari, atau satu minggu setelah penjualan Nations Energy dinyatakan selesai. Selain itu, Bank Mandiri juga menyatakan Kiani akan membayar sisa utang sebesar US$180 miliar dalam waktu dekat.

Pembayaran seluruh utang Kiani kepada Bank Mandiri itu dipercaya menggunakan uang Hashim yang masuk lewat Merryl Linch, bank investasi ternama. Sebuah sumber yang dekat dengan Prabowo Subianto membenarkan dugaan ini. “Memang benar Hashim yang menyelamatkan Kiani,” katanya singkat.

Sumber itu juga bercerita bahwa Hashim berniat berbisnis migas dan komoditi. Bisnis komoditinya lewat Tirtamas Comexindo, sedangkan di migasnya dengan mengeksplorasi sebuah blok gas di Papua.

Di Papua, Hashim memiliki Blok Rombebai yang terletak di Kabupaten Yapen Waropen. Di sana, Hashim akan mengeksplorasi minyak dan gas lewat perusahaan Nations Petroleum yang ia dirikan Agustus tahun lalu. Nations Petroleum bertindak sebagai operator dengan pola kontrak
production sharing (PSC) bersama Mid Gulf, World Oil Properties, dan SriGas Energy Asia.

Lantas, mengapa Hashim rela menjual Nations Energy untuk mengembangkan Nations Petroleum? Jangan heran, ternyata blok yang luasnya sekitar 11.590 km2 itu memiliki kandungan gas super-dahsyat. Dokumen dari pemilik blok itu sebelumnya, Medco dan Ramu International, menyatakan Blok Rombebai memiliki kandungan gas lebih dari 15 Tcf
(triliun kaki-kubik).

Selain itu, Hashim juga sering menjadi bahan pergunjingan bahwa ia akan membeli saham milik pemerintah di Tuban Petrochemical untuk kembali menjadi pemiliknya. Sebenarnya, selaku pemilik lama Hashim masih memiliki 30% saham Tuban Petrochemical. Hanya, “Kita belum pernah menerima penawaran pembelian dari investor mana pun. Sampai saat ini kami belum ada rencana penjualan Tuban Petro,” kata Rahmat Saptaman, Direktur Aset Kredit dan Saham Non-Bank Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), kepada wartawan KONTAN Sam Cahyadi.

Siapa Ayahnya, Siapa pula Kakeknya

Kalau Hashim Djojohadikusumo sukses sebagai pengusaha, rupanya ia mewarisi kepiawaian ayahnya yang tak lain adalah begawan ekonomi Indonesia, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Dalam memprediksi berbagai soal menyangkut perekonomian, misalnya, pengusaha ini
sebenarnya dipandang memiliki penciuman yang tajam. Salah satu contohnya, ketika ia memulai debutnya di industri semen pada 1988. Kendati pertumbuhan industri semen saat itu tergolong lambat, toh Hashim -lewat PT Tirta Mas- tak segan-segan mengucurkan dana yang cukup
besar untuk mengambil alih saham mayoritas PT Semen Cibinong.

Putra bungsu Soemitro ini punya perhitungan. Sebagai komoditi dasar, ia sangat yakin semen akan dibutuhkan banyak orang. Nyatanya, belum genap tiga tahun Hashim terjun ke industri ini, krisis pasokan semen merebak nyaris di seluruh pelosok negeri ini.

Lelaki kelahiran tahun 1954 ini lebih sering menempuh pendidikannya di luar negeri. Setelah lulus sekolah dasar, ia disekolahkan di Quintin Grammar School (setingkat SMP), London, Inggris. Setamat dari sana, tahun 1969, Hashim meneruskan ke Singapore American School (setingkat SMA) di Singapura. Setelah itu, Hashim terbang ke Amerika Serikat, menimba ilmu politik dan ekonomi di Panoma College, Claremont, Kalifornia, hingga menyabet gelar sarjana muda tahun 1976.

Sebenarnya, menjadi seorang pilot pesawat tempur adalah cita-cita Hashim sejak kecil. Namun, karena matanya berkacamata minus, ia terpaksa mengurungkan niatnya. Nah, setelah menyelesaikan sekolahnya di luar negeri, ayahnya sempat menawarkan dua pilihan: melanjutkan sekolah hingga ke tingkat master, atau bekerja. Untuk soal yang terakhir,
Soemitro -ketika itu Menteri Negara Riset- memang sudah menyiapkan posisi bagi Hashim di salah satu perusahaannya di Jakarta. Nyatanya, Hashim menolak tawaran itu. Alasannya, ia merasa tak enak jika memulai bisnisnya ketika ayahnya masih menduduki jabatan sebagai
pejabat tinggi negara. Toh, meneruskan sekolah pun ia tidak. Hashim akhirnya memilih menjadi karyawan magang di Lazard Freres Et Cie di Paris, Prancis. Di bank investasi ini Hashim menimba pengalaman sebagai analis keuangan (financial analyst).

Nah, setahun setelah Soemitro pensiun dari jabatan menterinya, awal 1979, Hashim pun pulang ke tanah air. Ketika itu, ia langsung menduduki jabatan direktur di Indo Consult, perusahaan konsultan manajemen yang didirikan ayahnya sejak 1978. Dua tahun setelah itu, Hashim mulai
merintis usaha di sektor perdagangan lewat perusahaan yang didirikannya, PT Era Persada.

Jika nanti bisnis Hashim kembali bersinar, mungkin sudah menjadi suratan takdir keluarga Djojohadikusumo. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo adalah pendiri Bank BNI 1946. Artinya, kesuksesan Hashim, ayah tiga anak, tampaknya tak lepas pula dari darah bisnis yang dibawanya. Siapa dulu ayahnya, atau siapa pula kakeknya.

Menjadi Obligor BPPN

Belum krisis ekonomi, hampir semua orang mengenal Hashim Djojohadikusumo. Lewat grup usahanya, Tirtamas, bisnis Hashim menggurita di berbagai sektor usaha. Dari perbankan dan keuangan (Bank Papan Sejahtera, Bank Pelita, Bank Kredit Asia), perdagangan, industri semen (Semen Cibinong), perkebunan kelapa sawit (hingga industri petrokimia (Tuban Petrochemical Industry).

Namanya semakin melambung setelah ia membeli 40% saham Bank Niaga dari keluarga Julius Tahija pada 1997. Nilai transaksinya Rp 756 miliar, transaksi yang kabarnya terbesar sebelum krisis. Pada saat itu Hashim sangat yakin saham yang dibeli senilai Rp 8.000 saat ini akan
melambung di kemudian hari.

Sayang, ternyata krisis ekonomi datang beberapa bulan setelah pembelian itu. Saham Bank Niaga pun melorot. Hashim pun mendadak terlilit utang dari lembaga keuangan internasional maupun bank dalam negeri. Alhasil, dia masuk ke dalam tagihan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Total utang Hashim (Grup Tirtamas) yang tercatat masuk ke dalam catatan BPPN adalah Rp 5,37 triliun (termasuk denda dan bunga).

Untuk menutupi tagihan tersebut, Hashim terpaksa harus menjual sahamnya di berbagai perusahaan, meski harus menelan kerugian berlipat ganda. Di Bank Niaga, Hashim menjual sahamnya hanya dengan harga Rp 250 per lembar. Ia juga harus menjual kepemilikannya di Semen Cibinong dan Tuban Petrochemical Industry. Sejak itulah Hashim jarang terdengar di
tanah air. Selain menetap di Swiss, Hashim menjalankan bisnis di luar negeri, terutama menjalankan Nations Energy.

website copyright 2013. Diberdayakan oleh Blogger.