Header Ads

Daftar 20 Obligor Besar BLBI Di BPPN

Setelah diumumkan, sejumlah obligor bandel berubah menjadi kooperatif.
Tapi, ada juga obligor yang semakin tak mau kompromi.
Dua puluh obligor terbesar telah diumumkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tak mudah ditebak
apa tindakan berikut yang akan dibuat oleh petinggi ekonomi negara ini. Namun, sesuai dengan harapan orang banyak,
pemerintah mestinya memilah-milah mana debitor yang penjarah uang negara dan mana debitor yang baik.
Prakarsa Jakarta, BPPN, dan Kejaksaan Agung -bekerja dalam tim Financial Sector Policy Commitee (FSPC) atau
Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)- tengah menyiapkan seperangkat tindakan kepada debitor nakal.
Nah, mana yang akan terjerat dan selamat? Berikut ulasan singkat tentang 20 obligor kakap itu. Pertama dan terbesar
adalah obligor Grup Barito. Grup ini memiliki kewajiban yang sebagian besar dalam mata uang dolar. Total utang kepada
BPPN mencapai Rp 9,41 triliun. Sebagian besar kredit berasal dari Bank
Danamon.
Obligor yang berbasis hutan Kalimantan itu relatif kooperatif, kecuali PT Inter Petrindo Inti Citra yang pemegang
sahamnya tak bersedia menandatangani Letter of Commitment (LoC). BPPN mencium adanya ketakjelasan penggunaan
dana pinjaman dari Bank Danamon sebesar 98,2 juta dolar AS di lima anak perusahaan. Diduga ada penyalahgunaan
kredit. Penyelesaian utang grup milik Prayogo Pangestu itu tergantung pada penyelesaian utang PT Chandra Asri
Petrochemical Center (CAPC) yang solusinya masih dirembuk bersama-sama.
Obligor terbesar kedua adalah Grup Humpuss yang total utangnya berjumlah Rp 5,69 triliun, kebanyakan berasal dari
bank-bank BUMN. Itikad pemegang saham dinilai cukup baik. Beberapa debitor sudah memiliki pola
restrukturisasi, antara lain asset settlement, cash settlement, dan suntikan dana segar oleh pemegang saham.
Sayangnya, beberapa perusahaan dalam kelompoknya memiliki jaminan yang lebih kecil dibanding nilai utangnya.
Misalnya, PT Humpuss menerima kredit dari BCA dan PDFCI sebesar Rp 727,09 miliar, tapi nilai collateral hanya Rp
327,24 miliar. Indikasi mark-up terkesan kuat.
Terbesar ketiga ialah Grup Putra Surya Perkasa (PSP). Grup usaha yang menggeluti properti dan keuangan ini terpuruk
karena kedua sektor itu kelimpungan diterjang badai krisis, sehingga menyeret delapan perusahaan grup ini ke dalam
BPPN. Grup usaha yang dimiliki keluarga Trijono Gondokusomo itu memiliki kewajiban pokok sebanyak 5,078 triliun -
belum termasuk bunga dan denda- kepada BPPN.
BPPN disibukan oleh ulah beberapa direktur PSP -Alex Ng dan Eduardus Bouk- yang disinyalir menggelapkan uang
grup sebanyak 45 juta dolar AS. Putra Surya Pahala menjual aset tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepada BPPN. Selain
itu, tiga perusahaannya masuk ke divisi hukum AMC-BPPN, karena dinilai tak kooperatif, dan akan diseret ke
pengadilan.
Posisi keempat obligor Grup Bakrie Obligor ini dinilai BPPN akan memiliki sejumlah hambatan besar dalam
restrukturisasi utang-utangnya. Obligor yang terdiri dari 26 perusahaan ini sebagian besar pinjamannya tak memiliki
jaminan, kebanyakan jaminan personal. Total utang kepada pihak BPPN sebesar Rp 4,926 triliun. Pembayaran kembali
utang sulit diharapkan.
Berikut, obligor Grup Mohammad (Bob) Hasan. Obligor terbesar kelima ini memiliki total utang Rp 4,626 triliun kepada
BPPN. Sementara ini, BPPN menganggap obligor ini cukup kooperatif, kecuali hambatan dalam pemberian data yang
dianggap lambat. Kendati demikian, penyelesaian utang grup ini relatif berlarut-larut. Masalah justru muncul karena Bob
Hasan harus bertanggung jawab atas penyelewengan dana reboisasi sebesar 98 juta dolar AS.
Grup Tirtamas milik Hasjim Djojohadikoesoemo memiliki kemampuan cukup besar untuk melunasi utangnya. Tapi,
beberapa pemegang saham perusahaannya, seperti pada PT Sumi Asih (SA) tak bersedia menandatangani LoC. SA
memiliki sejarah kredit yang menyimpang. Pinjaman dari Bank Pelita (BP) sebesar 3 juta dolar AS dan Rp 25 miliar
digunakan untuk pemegang saham dan dirut BP, Agus Anwar, untuk kepentingan diri sendiri. Debitor ini dianggap layak
masuk bui. Satu perusahaan, PT Tirtamas Comexindo per 30 Desember 1999 dipailitkan BPPN sehubungan dengan utangnya kepada Bank Tamara sebesar Rp 38,1 miliar.
Obligor ketujuh terbesar adalah Grup Napan memiliki 15 perusahaan yang masuk ke BPPN dengan total utang Rp 3,367
triliun. Grup keroyokan yang antara lain dimiliki Henry Pribadi, Hendri Liem, Andri Pribadi, dan Sudwikatmono ini, beraset
Rp 5,80 triliun. Tapi, itu bukan jaminan BPPN akan memperoleh kembali piutangnya. Karena utang ke pihak lain cukup
besar. BPPN harus berunding dengan kreditor lainnya.
Secara umum BPPN menilai tabiat obligor terbesar ke delapan, yakni Tirtobumi, cukup baik, sehingga perusahaan yang
dimiliki oleh Moertomo Basuki dianggap kooperatif. Hanya ada satu perusahaan dalam kelompoknya dengan utang
senilai Rp 2,9 triliun. Pengelola dan pembangun jalan tol Surabaya-Gresik ini memberikan jaminan deposito berjangka
Rp 701 miliar, hak atas pendapatan bersih proyek tol sebesar 93,5 persen hingga tahun 2016, dan saham di PT
Margabumi. Namun, BPPN menilai jaminan itu masih kurang untuk menutupi utangnya.
Obligor Djayanti, terbesar kesembilan, dicap sebagai obligor tak kooperatif dan disinyalir beberapa perusahaannya
melakukan pelanggaran pidana. PT Artika Optima Inti (AOI) dianggap melakukan window dressing, karena mengalihkan
utang 77,8 juta dolar AS kepada perusahaan se-grup dalam upaya go public tahun 1997. Total utang obligor ini Rp 2,89
triliun. Kesimpulan, obligor ini layak diproses di pengadilan.
Obligor Grup Bimantara di urutan ke sepuluh memiliki total kewajiban kepada BPPN sebesar Rp 2,87 triliun dan terdiri
dari sembilan perusahaan. Awalnya, obligor ini dinilai kooperatif dan tak ada masalah berarti. Tapi, belakangan BPPN
sedang melakukan investigasi kepada salah satu Divisi Head Loan Work Out yang disinyalir 'bermain mata' dengan
obligor ini.
Selanjutnya, obligor Grup Sekar. Dua perusahaan publik dalam grup Sekar, yaitu PT Sekar Bumi dan Sekar Laut
didelisting di BEJ tanggal 14 September 1999. Total utang grup ini sebesar Rp 2,797 triliun. PT Sekar Bumi mengalami
kerugian transaksi derivatif sebesar Rp 233 miliar, tapi tidak dibukukan ke dalam laporan keuangannya, baik tahun 1997
maupun 1998. Hal yang sama dialami PT Sekar Laut sebesar Rp 0,38 miliar. BPPN menganggap transaksi derivatif
yang merugikan harus dipertanggungjawabkan direksi.
Terbesar keduabelas adalah obligor Grup Bahana yang sahamnya dimiliki oleh Bank Indonesia (82,2 persen) dan
Pemerintah (17,8 persen). Total utangnya sebanyak Rp 2,728 triliun. Terdiri dari 5 perusahaan yang bergerak dalam
bidang investasi, modal ventura, sekuritas, dan financial advisor. Beranikah BPPN mengejar BI dan pemerintah?
Obligor selanjutnya adalah obligor Grup Dharmala. Kewajiban obligor yang dimiliki oleh keluarga Gondokusumo itu
kepada BPPN sebesar Rp 2,673 triliun. Terdiri dari tujuh kelompok usaha yang masing-masing memiliki anak
perusahaan. Total anak perusahaan mencapai 23 perusahaan.
Pinjaman yang diterima obligor ini sebagian besar diterima oleh holding company yang kemudian didistribusikan kepada
anak-anak perusahaan, sehingga banyak terjadi transaksi antar perusahaan sendiri. Bahkan ada indikasi dana pinjaman
digunakan untuk membeli saham anak perusahaan saat right issue-nya tak direspon pasar.
Khusus dalam bidang properti, pemberian kredit kepada satu perusahaaan digunakan untuk proyek lain, sehingga terjadi
kerugian pada pihak konsumen (end user) atas kavling yang telah dilunasi, tapi tidak dilunasi kepada kreditor
bersangkutan.
Total utang Grup Ongko -obligor terbesar kelimabelas-, sekitar Rp 2,487 triliun. Kelompok usaha milik Kaharudin Ongko
ini berjumlah 23 perusahaan, bergerak dalam berbagai bidang, antara lain keuangan, properti, jasa. Tetapi lebih banyak
perusahaan fiktif atau sekadar paper company.
Obligor Grup Sewu di posisi ke-enambelas, memiliki utang kepada BPPN sebesar Rp 2,483 triliun. Grup yang berusaha
di bidang properti, agribisnis, bahan baku produk makanan dan tekstil ini relatif kooperatif. Tujuh belas dari 19
perusahaan sudah memiliki pola penyelesaian utang yang jelas, yaitu berupa restrukturisasi, asset sale,
dan asset settlement. Sisanya dalam proses. Krisis yang berkepanjangan membuat lima perusahaan dari obligor ini
melakukan self liquidation, antara lain, PT Putra Duta Anggada, PT Gunung Sewu Sakti, PT Sewu Mas, PT Gunung
Sewu Karana, PT Cerart Sewu Perkasa.
Posisi berikut, Grup Danamon, atau dikenal juga dengan Grup Bentala. Utangnya sebesar Rp 2,467 triliun. Obligor yang
mayoritas sahamnya dimiliki Usman Admadjaja ini bermain di bisnis properti, sehingga sangat terpukul krisis. Terdiri dari
10 perusahaan, obligor ini relatif kooperatif dan tak dijumpai masalah atau hambatan berarti.
Oblligor Grup Nugraha Santana yang merupakan pemilik dan pengelola Hotel Hilton Jakarta maupun Hilton Bali,
pengelola Jakarta Convention Centre, dan pemilik sekaligus pengelola Gedung Nugraha Santana, memiliki kewajiban Rp
2,316 triliun kepada BPPN. Grup milik keluarga Ibnu Soetowo -mantan dirut Pertamina- ini terpuruk karena pinjamannya
banyak dalam dolar AS.
Grup Rajawali memiliki total utang kepada BPPN sebesar Rp 2,13 triliun. Empat dari 19 perusahaan di bawah kendali
Peter Sondakh ini menyelesaikan utangnya dengan cara bayar tunai. Sisanya masih dalam proses. Umumnya, BPPN
menganggap kooperatif. Permasalahan yang dijumpai sekitar kesalahan manajemen yang menggunakan dana kredit
bukan untuk kegiatan operasional perusahaan, seperti yang terjadi pada PT Bentoel
Prima.
Selanjutnya, obligor Grup Kodel. PT Dharmamuda Pratama, salah satu dari tiga usaha Grup Kodel yang masuk BPPN,
memiliki utang sebesar 143 juta dolar AS. Perusahaan pemasok alat pengeboran minyak itu kesulitan
membayar pinjaman, karena utang dalam dolar. Total utang grup yang dimiliki Fahmi Idris dkk. ini mencapai Rp 2,014
triliun, termasuk debitor eks BSB sebesar Rp 279 miliar. Posisi terakhir adalah obligor Grup Argo Pantes yang memiliki
total kewajiban Rp 1,892 triliun berasal dari lima divisi dan 22 perusahaan. Secara umum, obligor yang mayoritas
sahamnya dimiliki raja tekstil The Ning King ini kooperatif dan mudah bekerjasama dalam proses
penyelesaian. Sebagian utang direstrukturisasi dan sebagian dilunasi dengan cash settlement dan asset settlement.

Tidak ada komentar

website copyright 2013. Diberdayakan oleh Blogger.